Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS),
sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. [2] Dia
kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,
sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia
mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi
awalnya yang ditemukan.[3]
Pada usia sembilan belas tahun, setelah
perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana
dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak
selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa
Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang
internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald
MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis
ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung
mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.Salah satu hasil karyanya :AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
HAMPA
kepada sriSepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
No comments:
Post a Comment